HARIANDATA.COM – Sidang praperadilan yang diajukan oleh kuasa hukum pemohon, Fendi Yalang dan Doni, yang sebelumnya ditangkap oleh Gakkum LHK pada 13 Desember 2024, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Marisa, Kamis (6/2/2025).
Sidang yang berlangsung penuh ketegangan ini berhasil menarik perhatian publik, terutama setelah pihak pemohon menghadirkan seorang saksi ahli untuk memberikan keterangan.
Saksi ahli yang dihadirkan, Dr. Apriyanto Nusa, SH., MH, memaparkan bahwa dalam sidang kali ini, yang diuji adalah mekanisme administrasi yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (Gakkum LHK).
Ia menjelaskan bahwa dalam kasus ini terdapat sejumlah pelanggaran prosedural yang terjadi, khususnya terkait dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
“SPDP seharusnya diserahkan sebelum penetapan tersangka. Jika SPDP baru diserahkan setelah penetapan tersangka, maka substansi dari SPDP tersebut tidak terwujud,” ungkap Apriyanto Nusa, saat diwawancarai awak media, usai memberikan keterangannya, Kamis (6/2/2025).

Ia menambahkan bahwa SPDP adalah bagian penting dari pemberkasan agar warga negara bisa mempersiapkan diri dalam proses pembuktian.
Apriyanto menekankan bahwa setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, seharusnya tidak ada lagi proses penyelidikan atau pembuktian lebih lanjut, karena proses tersebut sudah dianggap selesai pada saat penetapan tersangka.
Ia pun menilai bahwa aparat penegak hukum kurang memperhatikan prosedur hukum acara pidana dalam penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh termohon.
Tak hanya itu, Apriyanto juga membahas mengenai prosedur tangkap tangan yang dilakukan oleh Gakkum LHK. Menurutnya, jika seseorang ditangkap tangan, seharusnya tidak ada kebutuhan untuk Surat Perintah Penangkapan (SPP).
“Tertangkap tangan itu merupakan tindakan yang tidak terencana. Jadi, aneh jika setelah tertangkap tangan, baru diberikan Surat Perintah Penangkapan. Karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 18 Ayat 2 dalam hukum acara pidana,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa dalam hukum pidana, tertangkap tangan sudah membuktikan bahwa orang yang ditangkap tersebut memang melakukan tindak pidana.
Oleh karena itu, tidak perlu ada lagi gelar perkara untuk menentukan apakah peristiwa tersebut adalah tindak pidana atau tidak.
“Jika ada keraguan apakah ini peristiwa pidana atau tidak, seharusnya orang tersebut tidak perlu ditangkap tangan,” tegas Apriyanto.