Opini

Manipulasi Dokumen Pertambangan: Ketika Tinta Kekuasaan Dicemari Kepentingan

×

Manipulasi Dokumen Pertambangan: Ketika Tinta Kekuasaan Dicemari Kepentingan

Sebarkan artikel ini

HARIANDATA.COM – Di tengah upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan, kabar mengenai dugaan manipulasi surat resmi Bupati Parigi Moutong terkait Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) datang bak petir di siang bolong.

Bagaimana tidak? Surat yang ditandatangani secara sah oleh Bupati — dengan persetujuan awal hanya untuk 16 titik wilayah pertambangan rakyat — tiba-tiba berubah menjadi 53 titik lengkap dengan koordinat baru. Yang lebih mengejutkan, perubahan itu terjadi tanpa sepengetahuan sang kepala daerah.

Ini bukan sekadar kejanggalan administratif. Ini adalah alarm keras yang mengguncang fondasi integritas birokrasi di bumi Parigi Moutong.

Ketika Dokumen Negara Dijadikan Alat Kepentingan

Kita tidak sedang membahas kesalahan ketik atau kelalaian birokrasi. Kita sedang membicarakan dugaan perubahan isi dokumen resmi negara — sebuah tindakan serius yang, jika terbukti, setara dengan pemalsuan surat kepala daerah.

Pertanyaannya: siapa yang bermain di balik layar?

Apakah ini bagian dari manuver kepentingan bisnis tambang yang mengincar wilayah baru? Ataukah ulah segelintir oknum pejabat yang tak lagi paham batas antara jabatan dan kerakusan?

Karena faktanya, setiap perubahan isi surat resmi kepala daerah tanpa persetujuan tertulis adalah pelanggaran berat terhadap sistem hukum dan etika pemerintahan. Tidak ada justifikasi apa pun untuk tindakan seperti ini, selain dorongan kepentingan pribadi yang menabrak aturan dan merusak nama baik daerah.

Pertaruhan yang Lebih Besar dari Jabatan

Manipulasi dokumen resmi bukan hanya soal mencoreng nama seorang bupati. Ini adalah tindakan yang berpotensi menghancurkan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem pemerintahan daerah.

Apalagi dokumen yang dimanipulasi menyangkut wilayah pertambangan, isu yang punya dampak luas: dari kerusakan lingkungan, konflik lahan, hingga ancaman terhadap keselamatan warga.

Menambahkan titik WPR secara sepihak tanpa kajian bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga ancaman serius bagi masa depan ekologi dan sosial masyarakat. Kita tidak bisa diam saat tinta kekuasaan digunakan untuk mengubah peta bumi Parigi Moutong demi keuntungan segelintir orang.

Saatnya Kepemimpinan Diuji

Situasi ini adalah ujian nyata bagi kepemimpinan Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase, S.Kom. Apakah beliau akan membiarkan praktik manipulatif ini mencoreng integritas pemerintahannya? Atau justru mengambil langkah tegas, menarik kembali surat tersebut, dan mengungkap siapa saja yang terlibat?

Langkah-langkah berikut menjadi mendesak dan tak bisa ditunda:

1. Menarik surat yang telah dimanipulasi.

2. Membentuk tim investigasi independen di bawah Inspektorat Daerah.

3. Melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum.

4. Menindak tegas setiap pejabat yang terlibat, hingga pemecatan jika terbukti.

Dalam menghadapi situasi seperti ini, bupati tidak hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga harus tampil sebagai simbol moralitas dan keberanian di tengah arus gelap kepentingan.

Jangan Bungkam, Jangan Biasa Saja

Pembiaran terhadap kasus seperti ini adalah jalan pintas menuju kerusakan sistemik. Hari ini dokumen tambang, besok bisa jadi dokumen lain ikut “diubah”. Hari ini soal titik WPR, besok bisa soal izin lokasi, proyek, atau perizinan strategis lainnya.

Ini bukan soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi soal siapa yang berani berdiri melawan penyalahgunaan kekuasaan.

Publik tak boleh bungkam. Media harus terus menyorot. Aparat wajib bertindak. Karena pemerintahan yang bersih bukan hanya soal slogan — tapi keberanian untuk menegakkan aturan, menindak pelanggar, dan membersihkan sistem, bahkan jika pelakunya berasal dari lingkaran dalam kekuasaan sendiri.

Penulis: Amar Mayah, S.Sos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *